Skip to main content

KKN Di Desa Penari


Tahun 2009 akhir, semua anak angkatan 2005/2006 sudah hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN (kuliah kerja nyata) yang dilakukan di beberapa desa sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi, dari semua wajah antusias itu di kampus, terlihat satu orang tampak menyendiri. Widya, begitu anak-anak lain memanggilnya. Ia tampak begitu gugup, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telepon itu membuyarkan lamunannya. Saya sudah dapat tempat untuk KKN kata yang ada di ujung telepon. Wajah muram itu seketika berubah menjadi senyuman penuh harap, di mana? Di kota B, di sebuah desa  di kabupaten K, banyak proker (program kerja) untuk dikerjakan, tempatnya juga cocok untuk KKN kita. Saat itu juga, Widya mengajukan proposal KKN. Semua persyaratan sudah terpenuhi kecuali kelengkapan anggota dalam setiap kelompok minimal harus melibatkan dua fakultas berbeda pun minimal dengan enam orang. "Tenang" kata Ayu, perempuan yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi dengan abangnya. Benar saja, tidak beberapa lama, muncul Bima dengan Nur, ia menyampaikan, kelengkapan anggota enam orang yang melibatkan dua fakultas sudah disetujui. Siapa yang sudah gabung Nur? Tanya Ayu. Temanku, kating. Dua angkatan di atas kita. Satunya lagi temannya, lega sudah batin Widya. Keputusan KKN sudah disetujui semuanya, terdiri dari dua fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan diadakan kurang lebih enam minggu. Hanya tinggal menunggu pembekalan sebelum keberangkatan. Jauh hari sebelum malam pembekalan, Widya pamitan kepada orang tuanya tentang progress KKN yang wajib ia tempuh, ketika orang tua Widya bertanya  kemana projek KKN mereka, terlihat wajah tidak suka dari raut wajah ibunya. Apa tidak ada tempat lain. Kenapa harus kota B, wajah ibunya menegang. Di sana tempatnya bukannya hutan semua, tidak bagus kalau ditinggali  oleh manusia. Namun setelah Widya menjelaskan bahwa sebenarnya sudah dilakukan observasi, wajah ibunya melunak. "Perasaan ibu tidak enak, apa tidak bisa diundur satu tahun lagi? Widya enggan melakukannya. Maka, meski berat, kedua orang tuanya pun terpaksa menyetujuinya hari pembekalan sebelum pemberangkatan.
Widya, Ayu, Bima dan Nur, matanya melihat sekeliling, khawatir, dua orang yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat batang hidungnya, sampai menjelang siang, dua orang muncul. Menyapa dan memperkenalkan dirinya di depan mereka. Wahyu dan Anton.
Setelah basa-basi, bertanya seputar rencana KKN  dari A sampai Z selesai, mereka akhirnya berangkat. Naik apa kita nanti? Kata Wahyu. "Elf mas jawab Nur. Sampai desanya naik mobil elf dik? Tidak mas. Nanti berhenti di jalur hutan D. Nanti ada orang yang jemput" sahut Nur. Mendengar itu, Widya bertanya kepada Ayu. "Yu, apa desanya tidak bisa dimasuki mobil? "Ayu hanya menggelengkan kepala". "Tidak bisa". Tapi dekat kok dari jalan besar, 45 menit kemungkinan. Sesuai apa yang Nur katakan, mobil  berhenti di jalur masuk hutan D, menempuh menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari kota S, tanpa terasa hari sudah mulai petang, ditambah area dekat dengan hutan, membuat pandangan mata terbatas, belum sampai di sana gerimis mulai turun, lengkap sudah. Setelah menunggu hampir setengah jam, terlihat dari jauh cahaya mendekat. Nur dan Ayu langsung mengatakan bahwa mereka yang akan mengantar. Rupanya, yang mengantar adalah enem lelaki paruh baya dengan motor butut. " Cuk. Sepedahan tah" kata Wahyu, spontan saat itu juga ada yang aneh entah disengaja atau tidak, ucapan yang dianggap biasa  di kota S, ditanggapi lain oleh lelaki-lelaki itu. Wajahnya tampak tidak suka, dan sinis tajam melihat Wahyu. Hanya saja yang memperhatikan sedetail itu hanya Widya seorang. Apapun itu, semoga bukan hal yang buruk. Di tengah gerimis, jalanan berlumpur, pohon di sepanjang kanan dan kiri, mereka tempuh dengan suara motor yang seperti mau ngadat saja, ditambah medan tanah naik turun, membuat Wahyu berpikir kembali hampir satu jam lebih kok motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan. Khawatir bahwa yang dimaksud Ayu. Setengah jam lewat lima belas menit adalah setengah hari. Widya mulai berharap semua ini cepat selesai. Di tengah perjalanan, tidak satu pun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara. Aneh, apa warga di sana pendiam semua? 
Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi. Namun, kata orang, di mana sunyi sepi ditemui,  di sana rahasia dijaga rapat-rapat. Kini rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya. Apakah ia stop menghabiskan enam minggu ke depan di sebuah desa jauh di dalam hutan. Ketika suara  motor  memecah suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup terdengar suara familiar dengan tabuhan  kendang dan gong diikuti suara kenong, kompyang, membaur menjadi suara gamelan. Apa ada yang melakukan hajatan di dekat sini. Dan ketika sayup-sayup suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu menyambut mereka. Sampailah mereka di desa W. Tempat mereka akan mengabdikan dirinya selama enam minggu ke depan. Permisi kata lelaki itu. Sebelum meninggal Widya dengan motornya. " Kesini teman-teman" teriak Ayu. Disampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang dengan kumis tebal mengenakan kemeja batik khas ketimuran. Ia berdiri seolah menunggu sedari tadi. 
Kenalkan, ini pak Prabu, kepala desa teman kakakku. Pak Prabu, ini teman-teman saya yang rencananya mau KKN. Kemudian pak Prabu, memperkenalkan diri. Bercerita tentang sejarah desanya, di tengah ia bercerita, Widya juga bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini pak? Dengan tawa sumringah. Pak Prabu menjawab. Pelosok bagaimana maksudnya mbak. Nur hanya melihat saja, ia tidak mau mengatakan apapu, termasuk wajah Ayu yang memerah entah karena malu atau apa. Mungkin, Ayu merasa Widya sudah melakukan hal yang tidak sopan. Sebagai tamu  Widya memang seharusnya tidak melakukan itu. Di tengah perdebatan antara Widya dan Ayu tiba-tiba dari balik pohon jauh, sosok hitam dengan mata merah tengah mengintai mereka. Sialnya, hanya Nur yang melihat, akhirnya perdebatan itu selesai. Nur meninggalkan sosok itu yang masih mengintip dari balik pohon ia masuk ke sebuah rumah milik salah satu warga yang tidak berkeberatan ynunt mereka tinggali selama menjalankan tugas KKN mereka. Di sana rupanya perdebatan Widya dan Ayu berlanjut " kamu kok keras kepala, sudah dikasih tahu tadi tidak sampai setengah jam" Nur masih melihat alih-alih menjauhi. Nur lebih kepikiran dengan hal lain, salah satunya genderuwo itu, untuk apa ia mengintainya. Namun, tiba-tiba Widya mengatakan sesuatu yang membuat Nur tidak bisa merasakannya. " Kamu tadi dengar atau tidak, ada suara gamelan di tengah hutan tadi" ? Namun ucapan Widya ditanggapi Ayu dengan nada mengejek. Halah, paling tadi kebetulan ada yang mengadakan acara di desa tetangga, apalagi Nur, yang mendengar itu bereaksi kepada Ayu. " Yu. Tidak ada desa lagi lho di sini". 
"Kata orang dulu, bila mendengar suara gamelan, itu artinya sebuah pertanda buruk". Malam itu, berakhir, meski perdebatan masih terus berlanjut di batin mereka masing-masing. Pertanda apa yang sudah mengganggu.
"Yu, aku ingin ngomong. Sebentar, bisa kan"
"Ngomong apa Nur? Tanya Ayu. Nur dan Ayu pergi ke dapur. Wajah Nur, masih tegang, ia masih ingat, matanya tidak mungkin salah, matanya melihat mahluk itu. Yu, aku mau tanya, kamu tidak merasa aneh kah  di desa ini, kamu ingat, kok bisa-bisanya pak Prabu samoas melarang keras, kita KKN di sini. Apa kamu tidak curiga? Apa sih maksudmumu ngomong kayak gitu? Ucap Ayu ketus. "Mungkin, pak Prabu punya alasan, kenapa melarang kita KKN di sini". "Kalau kamu ngomong begini karena perkara Widya tadi, tidak masuk akal Nur". Kamu sendiri ikut aku observasi di sini kan. Apa ada yang aneh? Tidak kan, sudahlah. Cuma beberapa minggu saja lho di sini. Ayu pergi meninggalkan Nur, sementara Nur. Tidak mungkin menceritakan apa yang ia lihat. Ayu bahkan tidak percaya dengan hal yang ghaib. Nur pun mengalah lagi. " Nur" Widya memanggil, Nur pun menatap wajahnya yang satu, tampak ia baru saja menangis. Tidak aneh memang, siapa yang tidak akan menangis bila merasakan hal yang bahkan tidak masuk diakal seperti itu. "Bisa aku minta tolong" ucap Widya. "Tolong jangan ceritakan ya, soal tadi, soal dengar gamelan, aku tidak enak kalau sampai kedengaran warga desa, kita kan tamu di sini". Nur hanya mengangguk. Namun, sebelum Widya beranjak dari tempatnya, Nur tiba-tiba mengatakannya. "Wid, sebenarnya, saya juga mendengar suara gamelan itu, malah, saya melihat ada yang menari di sana". Widya yang mendengar itu dari Ayu, seakan tidak percaya, mereka terdiam cukup lama, bingung harus bereaksi seperti apa. " Sudah Nur, jaga diri baik-baik, ya, insyaallah, tidak bakal terjadi apa-apa, kalau kita hormat dan menjunjung tinggi sopan santun selama tinggal di tempat ini" ucapan Widya setidaknya membuat Nur sedikit lebih lega, namun, Nur tidak menceritakan sosok hitam yang mengintai mereka. Malam pertama. Nur, Ayu dan Widya tidur dalam satu kamar yang sama. Mereka sepakat untuk menggelar tikar. Nur ada di tengah, sementara Ayu dan Widya ada di samping kanan dan kiri Nur. Terdengar binatang malam bersahut-sahutan, berlomba untuk menunjukkan eksistensinya. Manakala Nur sadar dua sahabatnya sudah tertidur lelap, ia berjaga sendirian menatap langit-langit yang berupa genting hitam dengan sarang laba-laba. Rumah desa, tentu saja, pikir Nur. Memaklumi, sekat kamar pun tidak menyentuh langit. Jadi Nur, bisa melihat celah di sana. Ketika memikirkan kejadian hari ini, Nur tiba-tiba tersadar, bahwa. Suara riuh binatang malam tidak lagi terdengar, berganti dengan suara sunyi yang memekik membuat telinga Nur menjerit dalam ngeri. Perasaan tidak enak, tiba-tiba muncul begitu saja. Membuat Nur lebih awas, ketika pandangannya mencoba mencari cara untuk mengurangi rasa takutnya, di tengah cahaya lampu petromax yang memancarkan sinar temaram, di sudut sekat kamar sosok bermata merah mengintipnya. Nur tercekat, ia beringsut mundur, menutup wajahnya dengan selimut yang ia bawa. Pancaran wajahnya terbayang di dalam kepala Nur. Mengingatnya, benar-benar membuat jantung di dadanya, berdegup kencang. Ia masih ingat, tanduk kerbau di kepalanya, pancaran amarahnya seolah membuat Nur, semakin tersudut dalam ketakutan. Tanpa sadar. Nur mulai membaca ayat kursi. Satu dari banyak ayat yang diajarkan gurunya. Untuk menolak rasa takut, untuk menunjukkan manusia memiliki kekuatan untuk melawan. Namun setiap ia menyelesaikan suatu panjatan do'a diikuti oleh suara papan kayu gyan digebrak dengan serampang. Kerasnya suara itu, menghantam. Nur mulai menangis, menangis sendirian. Ia tahu, mahluk itu masih di sana. Tidak terima dengan apa yang ia lakukan, salahkah bila ia meminta bantuan kepada Tuhan. Salahkah? Tepat ketika isi hati Nur menyeruak, perlahan, suara itu menghilang. Hilang, hilang, dan berganti hening. Nur terbangun ketika subuh memanggil. Ia masih belum mengerti, apakah itu mimpi atau benar-benar terjadi, yang ia tahu, ia harus menjalankan tugasnya, sebagai seorang muslimah yang taat. Ia tidak boleh meninggalkan shalat. Nur, hanya hanya menyakiinkm dirinya, tidak akan bercerita bahkan kepada dua sahabatnya, atas apa yang baru saja menimpanya. Pagi hari pak Prabu mengumpulkan semua anak. Mengatakan bahwa hari ini, ia akan memperkenalkan keseluruhan desa dan mana saja yang bisa dijadikan proker untuk mereka kerjakan sesuai kesepakatan peranak. Pak Prabu menjelaskan sembari berjalan sementara anak-anak mengikutinya, tidak ada yang menarik dari penjelasan pak Prabu tentang desa ini, bahkan pak Prabu terkesan menyembunyikan sejarah desa itu, membuat Nur tambah curiga. Selain hal-hal umum, hanya Wahyu, jaringnya yang selalu menimpali ucapan pak Prabu dengan candaan, membuat tawanya pecah. Semua terasa alami, KKN yang Nur bayangkan. Sampai mereka berhenti di sebuah tempat yang membuat Nur tidak nyaman. Sebuah pemakaman, di sampingnya banyak pohon beringin besar. Selain itu, pemandangan pemakaman itu juga terkesan sangat aneh. Setiap batu nisan ditutupi dengan kain hitam. Membuat Nur, atau semua orang merasa penasaran, apa alasannya? Namun Nur, merasakan angin dingin, seperti mengelilinginya, ia tahu, ada yang tidak beres dengan tempat ini. Seakan-akan tempat ini sudah menolaknya. Ada satu hal yang membuat Nur semakin curiga kepada pak Prabu, di mana tiba-tiba, ia terpicu oleh kalimat Wahyu, kemudian beliau melontarkan kalimat mengancam, seakan-akan pak Prabu menjaga sesuatu yang sakral namun mengancam, apa yang pak Prabu sebenarnya sembunyikan. Untungnya, Bima langsung menengahi insiden itu, membuat pak Prabu kembali menjadi pak Prabu yang sebelumnya. Namun, Nur seakan tahu, ia tidak sanggup mengikuti kegiatan keliling desa ini. Maka ia, izin pamit kembali ke penginapan, untungnya pak Prabu mengizinkan. Bima menawarkan diri  untuk mengantarkan Nur, dan pak Prabu sekali lagi, mengizinkannya. Semua anak melanjutkan tour mereka bersama pak Prabu. Sementara Nur dan Bima kembali ke area rumah tempat mereka menginap.
"Ada apa Nur? Ada hantu lagi?" Dari semua anak, memang tidak ada yang lebih mengenal Nur daripada si Bima, temannya bahkan saat mondok dulu. Nur hanya tersenyum kecut, menjawabnya seadanya, bila mungkin kesehatannya sudah menurun, namun Bima tahu, Nur berbohong. "Di pemakaman tadi rame ya". Ucapan Bima tidak digubris sama sekali dengan Nur, sehingga Bima akhirnya menyerah, di tengah perjalanan pulang itu tiba-tiba Bima menanyakan sesuatu yang membuat Nur menaruh curiga kepada Bima. "Nur. Widya itu sudah punya pacar apa belum sih?" Gimana? Tanya Nur lagi. " Temen kamu Widya lho, sudah punya pacar  apa belum? "Tanyakan sendiri saja sana" Nur tahu, Bima suka kepada Widya hari itu. Nur yang menghabiskan sebagian siangnya  di dalam kamar, terbangun ketika Ayu memanggilnya. Semua anak sudah berkumpul, dan Ayu menunjukkan proposal proker mana saja yang sudah disetujui  pak Prabu dimana Ayu membagi menjadi tiga kelompok, terlepas dari satu proker kelompok Widya dengan Wahyu, Nur dengan Anton, sementara Bima dengan Ayu. Semua anak sepakat, mengingat, Ayu yang paling berjasa sehingga mendapatkan tempat KKN tanpa campur tangan pihak kampus. Lusa, adalah awal dari persiapan proker mereka. Sore datang, ketika Nur baru saja selesai merapikan barangnya untuk persiapan proker kelompok. Widya masuk ke kamar. " Nur, mandi yuk" dimana? Tanya Nur," di bilik sebelahnya sungai, ada bilik kecil tahu kan, yang bangunannya kayak kolam itu lho. Nur, tidak menjawab. Namun setelah memikirkan, bahwa ia belum membasuh badannya sejak pertama kali datang ke sini, ia pun setuju, dengan syarat, Nur mau menjadi yang pertama kali mandi. Saat melewati sinden, Nur sudah merasakan perasaan tidak nyaman. Sinden itu terdiri dari anak tangga yang disusun dengan batu bata merah, tampaknya bangunan sudah tua, ada air jernih di dalamnya, namun, Nur tidak pernah melihat  ada yang menggunakan air itu. Selain itu, fokus Nur tentu  pada bentuk menyerupai candi kecil di belakangnya, dan di pelataran candi ada sesajen, hal yang sudah lumrah di tempat ini, hanya saja, Nur tidak melihat adanya gangguan  saat ia mengamati sinden itu. Sampailah mereka di bilik yang di belakangnya ada pohon besar, pohonnya rindang dengan rimbun semak di samping bilik. Widya memberi tahu Nur, bila di dalamnya ada kendi besar yang sudah diisi oleh warga dari sungai, dan memang untuk mandi anak-anak KKN. Baru masuk, Nur langsung mencium aroma amis, seperti aroma daging busuk, namun Nur mencoba mengerti, mengingat biliknya sendiri terlihat seperti kamar mandi yang bersih, lantainya dari tanah, sedangkan kiri-kanan dipenuhi lumut, jadi Nur mencoba memaklumi. Ia pun segera membasuh badannya dengan air di dalam kendi, namun ada perasaan aneh ketika air membilas badannya, seperti ada benda kecil yang mengganjal saat bersentuhan dengan kulit Nur. Ketika diperhatikan dengan seksama, apa yang ada di dalam kendi, air itu dipenuhi rambut. Nur kaget, istighfar terus menerus, sembari ia beringsut mundur, ia mencoba memanggil Widya. Namun aneh, tidak ada jawaban apapun dari Widya . Nur, dengan berselimut handuk, mencoba membuka pintu bilik, namun, pintu seperti ditahan oleh orang yang ada di luar. Wid, bukak!! Wid bukak" teriak Nur, sembari menggedor anyaman bambu itu. Namun, tetap tidak ada jawaban apapun dari Widya, sampai Nur menyadari, di belakangnya ada sosok hitam itu, besar sekali, sampai menyentuh langit bilik. Nur pun memejamkan mata rapat-rapat. Yang pertama ia lakukan adalah istighfar kencang-kencang, sembari sembari tangannya mencari batu di tanah bilik, ketika tangannya berhasil meraih sebuah batu, Nur melemparkan kuat-kuat batu itu.Sembari mengucapkan do'a yang diajarkan gurunya bila bertemu lelembut, sampai sosok itu lenyap. Butuh waktu untuk Nur menangkan diri. Ia tahu, ia sudah diincar. Namun kenapa ia diincar, ia tidak melakukan apapun yang membuatnya diinca, bahkan bila karena ia secara tidak sengaja melihat mahluk itu, seharusnya bukan hanya Nur yang sial, tetapi mahluk itu juga sial. Tiba-tiba pintu terbuka, di mana Widya melihat Nur dengan ekspresi ganjil. "Kenapa Wid?" Hehe?" Tidak apa-apa kok " ucap Widya saat itu. "Ayo mandi, biar saya yang jaga, cepat ya, sudah mau malam". Awalnya Widya tampak ragu, ia seperti mau mengurungkan niatnya, tidak hanya itu, Widya seperti mau mengatakan sesuatu, namun kemudian mengurungkannya. Ia kemudian menutup pintu bilik. Ketika Nur,  berjaga di luar, ia sayup mendengar suara orang berkidung, penasara, Nur mulai mencari sumber suara, dan berakhir pada gemah dari dalam bilik, takut hal buruk terjadi, Nur mencoba memanggil Widya, menyuruhnya agar ia segera menyelesaikannya, namun, Widya tidak menjawab teriaknya, suara kidung itu terdengar semakin jelas. Dari samping bilik, ada semak belukar, Nur mencoba melempar batu dari sana, namun, ia terperanjat saat ia tahu, di belakang bilik ada sesaji, lengkap dengan bau kemenyan dibakar. Nur mencoba mengabaikannya, tetap berusaha memanggil sahabatnya, sampai, dari salah satu celah, ia melihat yang di dalam bilik bukan Widya, namun sosok cantik jelita, siapa lagi kalau bukan si penari yang Nur lihat di malam kedatangannya di desa ini. Wanita cantik itu, membasuh badannya dengan anggun, sembari berkidung dengan suara yang  membuat Nur tahu harus berujar apa, di mana Widya. Pikir Nur, ia tidak menemukan sahabatnya, tidak dimana pun ia mencoba melihat. Sampai, sosok itu tersenyum seolah tahu, Nur melihatnya. Lalu, ia bergerak menuju pintu, membukanya dan saat itulah, Nur melihat Widya, keluar dengan wajah kebingungan. Selama diperjalanan pulang, Widya mencoba mengajak bicara Nur, namun, Nur tidak merespon ucapan Widya, ia memikirkan apa yang baru saja ia lihat bukan hal kebetulan semata. Seperti sebuah pesan, pesan apa? Widya dalam bahaya atau dirinya yang sedang dalam bahaya. Malam setelah shalat isya, Nur berpamitan bersama Ayu dan Widya, ia ingin menemui pak Prabu, untuk pengajuan prokernya bersama Anton. Ayu sempat vertaber kepada Nur, apakah Anton menemani, namun Nur mengatakan, ia bisa sendiri, meski ayu menawarkan diri, namun Nur menolaknya ada hal yang mau diluruskan, bukan prokernya, namun apa yang sebenarnya terjadi di sini, pak Prabu tahu sesuatu. Setidaknya itulah asumsi Nur. Dan, ia merasa harus bertemu beliau malam ini, seakan-akan ada yang membisikinya, ia harus pergi ke rumah pak Prabu. Benar saja, pak Prabu duduk di teras rumah seakan-akan beliau sudah menunggunya. Namun, ada sosok lain yang duduk bersamanya, seorang lelaki renta, ia duduk sembari mengisap bakau lintingan, dan ketika Nur datang, si lelaki tua itu  tersenyum seperti mengenalinya.
Sumber : Nasihat Kehidupan

Dari cerita di atas sangat jelas kalau desa penari itu benar adanya dari penglihatan anak-anak KKN  yang membuat proker di sana. Saya dan teman-teman saya tertarik untuk melakukan observasi ke desa penari yang sudah diberitakan ada di Kalibaru bagian utara.
Pada tanggal 15 September 2019 saya melakukan riset ke daerah Wongsokerto (desa penari) seperti yang disebutkan di Facebook, berita, atau dari sumber lainnya. Desa ini berada di bawah kaki gunung Raung yaitu tepatnya di Dusun Wonorejo kecamatan Kalibaru kabupaten Banyuwangi. Setelah saya  dan teman-teman saya melakukan penelusuran ke daerah Wongsokerto ternyata daerah itu ada dan berada di ujung utara kecamatan Kalibaru kabupaten Banyuwangi. Tepatnya di bawah gunung raung, setelah kita sampai di sana kita menanyakan kepada masyarakat setempat yang bernama Wati. Saya menanyakan, apakah ada anak KKN di sini sebelumnya? Tidak ada jawaban Wati. Apakah kampung ini berpenghuni sejak lama? Iya, saya lahir di sini kata ibu-ibu yang bernama Wati itu. Lama-kelamaan saya berpikir memang di sini bukan desa Wongsokerto sebagaimana disebutkan di geogle maps. Ternyata desa yang disebut Wongsokerto itu adalah kampung petak 9. Percaya atau tidak desa penari itu tidak ada secara kasat mata, tetapi desa penari itu mungkin ada bagi orang-orang tertentu yang bisa melihat sesuatu  yang berbau metafisika atau sering disebut indera ke enam bahkan orang indigo. Teman-teman sekalian, cara berpikir orang di dunia ini ada dua yaitu cara berpikir secara logika atau cara berpikir secara metafisika. Entah kalian mau berpikir seperti apa itu semua tergantung anda. Ok, sahabat Terlepas cerita ini fiksi atau nyata, cerita ini menarik untuk disimak.
Salam sejahtera.

Penulis
Mawardi





Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. Duh benyak'an congoconah kabbi. Pola penulis ketularan @simpleman8314536 rok norok desa penari, coba bahas desa tegalharjo yg semakin al sael pasti saya kasih bintang 5

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

MAHABHARATA

Mahabharata adalah sebuah kitab yang dikarang oleh Begawan Byasa. Karya sastra kuno ini menghasilkan sinetron yang berjudul MAHABHARATA. Di Indonesia sinetron mahabharata ditayangkan di antv tahun 2014. Serial ini sangat menarik diikuti setiap episodenya, serial ini membahas persetruan antara pandawa dan kurawa yang berselisih karena memperrebutkan tahta dan kekuasaan sehingga menimbulkan perang bharatayuda yaitu perang besar antara pandawa dan kurawa sehingga yang tertinggal dari perang itu adalah pandawa.        Ada pun di sinetron ini yang tidak kalah menariknya adalah kata-kata bijak dan mutiara yang sangat menyentuh hati para penontonnya. Kata-kata bijak ini adalah kata-kata yang paling memukau dan terpanjang yang pernah saya tulis. Selamat membaca. Sebuah mangga dinilai bukan dari bentuknya tapi dari rasanya. Bisma Yang Agung Sebuah pemikiran menghasilkan keputusan, sebuah sumpah menghasilkan kesetiaan. Putri Ghandari Dedaunan yang rontok tidak memastikan pohon i

TUTURTINULAR

Salam sejahtera dan sampai jumpa kembali. Pulau Jawa pada zaman dahulu terdiri dari banyak kerajaan seperti Singosari, Kediri, Majapahit, Mataram kuno sampai Mataram Islam dan masih banyak lainnya yang tidak bisa saya sebutkan. Dulu ada sinetron kolosal yang tayang di stasiun televisi swasta kalau tidak salah Indosiar yang berjudul TUTURTINULAR. TUTURTINULAR adalah sinetron kolosal yang menceritakan tentang kerajaan Singosari sampai menjadi kerajaan Majapahit. Sekarang TUTURTINULAR tayang kembali di Rajawali televisi atau lebih dikenal RTV. Penulis disini menuliskan kata-kata bijak dan motivasi dari sinetron kolosal ini. Mari kita baca di bawah ini. Nasib akan menolongmu satu kali tapi siasat akan menolongmu beribu-ribu kali.                    Panglima Kausing Setiap perjalanan akan sampai ke tempat tujuan.                    Banyak Kapuk Keadilan dan kebenaran selalu ditentukan oleh kepentingan kelompok.                    Lembu Sora Keadaan yang membuat hat

MAHAKAALI

Sampai jumpa lagi sahabat semua yang suka nonton sinetron india terutama cerita jaman dulu pasti anda suka dengan tanyangannya apalagi dengan kata-kata bijaknya menarik untuk diresapi. Baiklah kawan penulis akan mempersembahkan kata-kata bijak dari sinetron MAHAKAALI. Selamat membaca. Jika kamu menjauhi masalah maka masalah yang akan mendekati.                  Mahadewa Bencana datang karena masalah.                  Mahadewa Jika tidak ada jalan keluar maka akhiri semua ini.                  Mahadewa Menghadapi masalah adalah jalan keluarnya.                 Mahakaali Kekuatan ada di dalam wanita.                 Mahakaali Setiap wanita yang dijadikan senjata maka kekuatan pria akan musnah.                Mahakaali Jika istri tidak ada suami maka apa arti seorang istri.                Mahakaali Terkadang demi mendapatkan kedamaian kita harus berperang.               Mahadewa Tidak ada kelembutan selain dari seorang ibu.               Dewa wisnu Orang